Pages

Kamis, 06 Maret 2014

[FF] Lost - Part 3

Kamis, 06 Maret 2014

Title                 : Lost
Author             : Alice
Cast                 : Shin Sekyung (Actress), Kim Jonghyun (SHINee), Key (SHINee)
Genre              : Romance                    
Rating             : General
Length             : Chaptered (Part 3)
Author’s note              :
Ah, it’s part 3 already! Terima kasih untuk pembaca yang masih setia menunggu kelanjutan dari FF ini. Maaf untuk keterlambatan yang super keterlaluan! >< Author sedikit sibuk dengan kegiatan sekolah, hihi. Untuk permintaan maaf, di part 3 ini spesial Author tulis pertemuan kembali Jonghyun dan Sekyung! Happy reading. Don’t forget to RCL and Google + ^_^

∞ Lost ∞

 
“Kau yakin?” tanya Key ragu.
“Tentu saja!” Jonghyun mengacak-acak kecil rambutnya untuk menciptakan efek berantakan yang ‘seksi’. Ia bisa melihat Key menggosok dagunya ragu dari pantulan cermin dihadapannya.
“Aku bisa mengantarmu dengan mobil.” Bujuk Key.
“Aku sudah dewasa, Key-goon.” Jonghyun berbalik memunggungi cermin dan berdiri menghadap Key sekarang. Ia memasang jam pada pergelangan tangan kirinya dan duduk pada tepian ranjang, tepat di samping Key.
“Bagaimana kalau Onew Hyung tahu kau pergi sendiri?” Key mengerucutkan bibirnya. Selama Onew dan anggota lain tidak ada di rumah hari ini, ia harus menjaga Jonghyun dan memastikan jika pria itu tidak pergi kemanapun. Key tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya jika Onew tahu diam-diam ia meloloskan Jonghyun.
“Akan kuberitahu ia nanti.” Jonghyun menepuk-nepuk jaket hitam yang ia kenakan. Ada sedikit debu yang menjadi cela dari penampilannya. Key hanya mengangguk pasrah.
“Baiklah.” Key mendesah kecil,”Jika kau butuh tumpangan, telepon saja aku.”
“Tidak akan!” Jonghyun menjulurkan lidahnya, membuat bibir Key makin mengerucut. Kemudian keduanya sama-sama tertawa dan melangkah menuju pintu flat.
“Jangan pulang lewat dari jam tujuh malam! Kau harus makan malam di rumah hari ini.” Tunjuk Key tepat pada wajah Jonghyun yang sukses melongo.
“Apa? Kau pikir berapa umurku sekarang?” Jonghyun mendengus kesal,”Aku bukan anak kecil berumur lima tahun yang harus pulang tepat waktu pada jam tujuh malam!”
“Kau ingin melihatku babak belur di tangan Onew Hyung, eoh?” Key mendorong pelan dahi Jonghyun sambil terkikik kecil, melihat ekspresi kekalahan Jonghyun sudah cukup membuatnya senang. Setidaknya rasa khawatir yang sempat bersarang di dadanya sedikit berkurang sekarang.
“Baiklah, aku mengerti.” Jonghyun mengusap dahinya pelan,”Aku berangkat. Sampai jumpa.”
“Ya, sampai jumpa. Hati-hati di jalan!”
Jonghyun mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya di lantai koridor dan melambai kecil pada Key. Kakinya mulai melangkah menuruni tangga flat yang mereka huni selama ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Jonghyun berjalan di dalam dorm itu. Ia menghirup napas dalam-dalam, menyunggingkan senyum kecil di wajahnya, dan melangkahkan kakinya mantap menuju dunia luar.
Sejak keluar dari rumah sakit, Jonghyun bisa merasakan sikap over protective yang berlebihan dari keempat rekannya. Seperti yang barusan Key katakan, ia tidak diperbolehkan untuk pulang melewati jam malam yang sudah mereka tetapkan sendiri tanpa persetujuan darinya. Tak hanya itu, masih banyak tindakan sok melindungi yang justru terlihat konyol di mata Jonghyun. Ia tidak pernah terlambat makan sekarang. Setiap kali ia melangkah menuju ruang makan, banyak makanan berjejer di meja. Rupanya diam-diam Taemin menelepon ahjumma, si asisten rumah tangga mereka, untuk memasak lebih sering.
“Aku sangat senang dengan perhatian kalian.” Kata Jonghyun suatu hari,”Tapi aku merasa seperti nenek-nenek yang hampir mati yang bahkan untuk duduk pun tak bisa.”
Mendengar keluhan Jonghyun, Onew hanya tertawa dan menyuruhnya untuk lebih banyak istirahat. Bagaimana mungkin ia bisa sembuh jika yang ia lakukan sepanjang hari hanyalah berbaring di ranjang?
“Ahjussi, aku minta cokelat yang ini.” Tunjuk Jonghyun pada sebuah cokelat dalam rak kecil. Ahjussi pemilik toko pun bergegas mengambil cokelat yang ditunjukkan oleh Jonghyun dan meletakkannya pada etalase. Jonghyun mengeluarkan beberapa lembar uang receh dan mengucapkan terima kasih.
Tadi pagi, setelah Jonghyun bangun dari tidur, mendadak ia teringat pada pembicaraan keempat anggotanya semalam. Pikirannya sangat terusik dengan nama Shin Sekyung. Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa Key menggunakan julukan “orang yang dihilangkan” sebagai kata ganti dari nama ‘Shin Sekyung’? Rasa penasaran yang membuncah menuntun Jonghyun untuk mengetik nama itu pada mesin pencarian, dan hasil yang ia dapatkan pun berhasil membuatnya ketakutan. Berbagai artikel dengan tema ‘pembunuhan Jonghyun SHINee’ memenuhi daftar teratas dari pencariannya.
Dan sepertinya Jonghyun mulai mempercayai obrolan teman-temannya semalam. Wanita itu hampir membunuhnya. Tapi, apa alasannya? Dan kenapa ia tidak bisa mengingatnya sedikit pun? Jonghyun menghela napas kecil dan menyimpan cokelat yang barusan ia beli dalam kantung jaket sebelah kanan. Kakinya berjalan keluar dari toko kecil itu dan kembali meneruskan perjalanannya.
Jalanan Seoul tak terlalu ramai hari itu. Cuaca yang terik membuat sebagian orang malas untuk beraktivitas di luar. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan hari dengan berendam di kolam atau mengunjungi pantai untuk sekedar liburan. Walaupun begitu Jonghyun tetap menutup rapat-rapat mukanya dengan masker, kacamata hitam, dan snap back hitam pula. Ia berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan identitas aslinya. Karena tujuannya hari ini adalah mengunjungi wanita itu.

∞Lost∞

“Biar kubawakan tasmu.”
“Eh, tidak usah.” Tolak Shin Sekyung halus,”Aku bisa membawanya sendiri.”
“Tidak, biar aku saja yang membawanya.” Jonghyun merebut pelan tas tangan yang dibawa kekasihnya itu dan menyampirkannya di pundak. Sekyung terkikik geli.
“Eh, kenapa?” tanya Jonghyun keheranan, namun Sekyung tetap terkikik.
“Tidak, hanya saja kau terlihat seperti seorang Ahjumma.”
“Sial.” Balas Jonghyun. Kemudian mereka berdua pun tertawa bersamaan.
“Bagaimana shooting-mu akhir-akhir ini?” tanya Jonghyun memulai percakapan kembali. Sekyung mengetuk-ngetuk pelan bibirnya, berusaha menyusun kata-kata untuk mendeskripsikan pekerjaannya yang sedang menanjak.
“Lumayan.”
“Apa maksudnya dengan lumayan?” Dahi Jonghyun berkerut.
“Semuanya berjalan lancar. Kata sutradara aktingku cukup bagus. Para staff juga mengatakan hal yang sama. Aku senang bisa bekerja dengan mereka.” Papar Sekyung dengan senyum penuh kebahagiaan.
Sementara Sekyung tetap melanjutkan ceritanya, diam-diam Jonghyun menatap wanita idamannya itu dengan penuh ketertarikan. Setiap senyum Sekyung, ekspresi wajahnya, Jonghyun suka dengan setiap detil hal yang Sekyung lakukan. Rasanya seperti bermimpi, ia bisa bersama dengan wanita yang ia idam-idamkan sejak setahun yang lalu. Bagaimana mungkin seorang malaikat secantik dirinya mau dengan pria kerdil sepertiku, tanya Jonghyun pada dirinya sendiri. Tiba-tiba Sekyung menepuk pelan pipi kiri Jonghyun, menyadarkannya dari lamunan singkat.
“Ada apa?” tanya Sekyung.
“Bukan apa-apa.” Jawab Jonghyun sambil menghela napas,”Aku hanya tidak menyangka jika akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana aku berjalan disampingmu dan mendengarkan cerita tentang kegiatanmu sehari-hari. Bagiku, tidak ada hal lain lagi yang lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu bersamamu.”
Mendengar penuturan manis itu, Sekyung memalingkan mukanya pada arah lain untuk menghindari tatapan Jonghyun. Walaupun begitu, Jonghyun yakin wajah putih gadisnya itu pasti bersemu merah sekarang. Jonghyun memberanikan diri untuk menggenggam tangan kanan Sekyung, menarik dagu gadisnya, dan mencium sekilas bibir merah merekahnya. Sekyung menunduk menahan malu, sementara Jonghyun tergelak melihat ekspresi yang ditunjukkan kekasihnya itu.
“Apa kau tahu? Aku sudah menyiapkan sepatu dengan sol tebal agar bisa kugunakan ketika saat ini datang.” Kata Jonghyun dengan tawa keras. Sekyung pun tertawa. Ia tahu pria disampingnya ini tidak begitu tinggi. Pasti selama ini Jonghyun berpikir keras. bagaimana caranya agar semua terasa tepat saat ia mencium Sekyung.
“Aku mencintaimu, Sekyung-ah.”

Sekyung tersentak dari tidurnya. Jam disampingnya berdering keras. Sekyung merutuk habis-habisan benda sialan itu yang sudah membangunkannya dengan cara tidak sopan. Padahal baru saja ia memimpikan hal yang sangat indah. Sekyung duduk pada pinggiran ranjangnya dan menopang dagunya dengan sebelah tangan.
Aku mencintaimu, Sekyung-ah.
Terdengar sangat nyata di telinga Sekyung. Jantungnya selalu berdegup kencang tiap kali mengingat malam itu. Bahkan mendengar nama pria itu saja bisa membuat Sekyung menggigil gugup.
Sekyung mengacak-acak rambutnya frustasi. Tidak seharusnya ia memimpikan hal itu. Bukankah ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melupakan pria itu, terlebih sudah dua tahun berlalu sejak… Ah, sudahlah, desah Sekyung pasrah.
Sekyung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kulkas di sudut kamar, sebelum langkahnya terhenti karena ia mendengar sesuatu dari arah ruang tamu flatnya. Sekyung berjalan malas dan tertegun mendengar ketukan di pintunya. Siapa yang datang berkunjung?
“Tunggu sebentar.” Kata Sekyung sambil terburu-buru menghampiri pintu.
Hampir saja Sekyung terjatuh saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya sekarang. Seorang pria dengan snapback hitam bertuliskan angka 23 tersenyum kecil menyapanya. Kedua tangannya menggenggam erat pinggiran pintu.
“Hai, Sekyung-ssi.”
Sekyung mendadak mundur beberapa langkah dan bergegas hendak membanting pintu, namun genggaman pria itu terlalu kuat.
“Pergi!” bentak Sekyung keras. Pria itu terkejut, namun sesaat kemudian ia berhasil menguasai dirinya kembali. Ia tersenyum dan menahan pintu kuat-kuat.
“Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal padamu.”
“Aku tidak tahu apapun!” bantah Sekyung. Ia mendorong pintu dengan sekuat tenaga, namun ia tahu perlawanan tidak seimbang ini pasti akan dimenangkan oleh pria itu.
“Kumohon, Sekyung-ssi!” Pria itu mendorong pintu dengan kekuatan terakhirnya, menyebabkan Sekyung terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk.
“Ah!” pekik Sekyung kesakitan. Pria itu buru-buru menghampiri Sekyung dan mengulurkan tangannya untuk memberi pertolongan, namun Sekyung menolaknya mentah-mentah.
“Menjauhlah dariku!” usir Sekyung kasar. Pria itu hanya terdiam.
Untuk beberapa saat ruangan itu dilingkupi keheningan yang tidak mengenakkan. Sekyung merutuk kesal dalam hatinya, apa yang diharapkan Jonghyun dengan kedatangannya kemari? Dan bagaimana Jonghyun bisa tahu jika ia tinggal disini? Oh, Sekyung teringat, bahwa Jonghyun bukanlah tipe orang yang suka membuang catatan lama. Pasti pria ini menyalin kembali alamat rumah Sekyung ke dalam ponsel barunya. Sekyung menggeram kecil menahan amarah, menyebabkan bunyi gemeletuk di antara rahangnya.
“Ada apa? Kenapa kau datang kemari?” tanya Sekyung memecah keheningan. Ia bangkit dan berjalan terseok-seok menuju pintu. Rasa sakit di pantatnya menjalar dengan cepat ke seluruh tubuh. Sekyung menggerutu sambil menutup pintu flatnya perlahan. Jonghyun meringis kecil, seolah ikut merasakan sakit yang diderita Sekyung.
“Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal padamu.” Jawab Jonghyun mengulang perkataannya.
Sekyung melangkah menuju kamar, dan menjatuhkan pelan pantatnya pada kursi. Ia mengedikkan kepalanya, sebuah kode untuk menyuruh Jonghyun agar duduk pada kursi di seberang Sekyung.
“Aku tidak suka dengan pertanyaan.” Celetuk Sekyung. Ia mengetuk-ngetuk permukaan meja diantara dirinya dan Jonghyun, yang merupakan meja makan sekaligus meja satu-satunya di flat itu. Jonghyun terlihat kaget, namun ia bergegas memperbaiki ekspresinya. Sesaat kemudian ia sibuk merogoh kantung jaketnya dan sebatang cokelat menyembul keluar.
“Untukmu.” Kata Jonghyun sambil menyodorkan cokelat itu. Sekyung meliriknya sekilas, berpura-pura untuk terlihat tidak menginginkannya. Namun sedetik kemudian suara raungan terdengar dari perut Sekyung. Ia buru-buru mengambil cokelat itu dan mengucapkan terima kasih, sambil menahan malu. Dari sudut matanya, Sekyung bisa melihat Jonghyun terkekeh kecil menertawakannya.
“Uh, Sekyung-ssi.” Panggil Jonghyun,”Ada cokelat di sudut bibirmu.”
Sekyung menyeka sudut bibirnya dan mengucapkan terima kasih. Jujur saja, ia tidak suka dengan tatapan Jonghyun yang tepat mengarah padanya, terlebih lagi ketika ia sedang makan. Tapi, sebagian dari dirinya mengatakan bahwa ia merindukan kedua bola mata kecoklatan itu. Sekyung bisa merasakan kehangatan memancar dari sana.
Tapi Sekyung tidak bisa membiarkan Jonghyun berada disini, di flatnya. Bagaimana jika seseorang dari media mengetahui hal ini? Bisa-bisa dirinya dan Jonghyun terluka lagi untuk kedua kalinya. Dan Sekyung tidak bisa memaafkan dirinya jika hal itu terjadi lagi. Ia tidak bisa memaafkan dirinya jika Jonghyun terluka lagi.
“Maaf, Jonghyun-ssi, tapi aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Apapun itu.” Kata Sekyung setelah selesai menghabiskan cokelatnya. Ia meremas bungkus cokelat menjadi bulatan kecil dan melemparnya ke sembarang arah.
“Eh, kenapa?” tanya Jonghyun terkejut. Ia sudah bersusah payah mencari alamat rumah wanita ini dan sekarang ia pulang dengan tangan kosong? Tidak mungkin.
“Aku tidak suka dengan pertanyaan!” Sekyung melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba mengintimidasi Jonghyun namun ia tahu itu tidak akan berhasil. Ia menarik napas panjang dan memajukan tubuhnya.
“Aku akan memberitahumu beberapa hal yang aku tahu. Pertama, aku ini tidak nyata. Kedua, orang-orang sudah menghilangkanku. Dan yang ketiga, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Jonghyun membulatkan kedua matanya. Mendadak hawa dingin melingkupi tengkuknya. Ia menelan ludah untuk membahasi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa sakit.
“Apa maksudmu?”
“Sudah kubilang kan, aku tidak suka dengan pertanyaan.” Sekyung menghentakkan kakinya kuat-kuat dan bangkit dari kursi. Ia berjalan menuju nakas di samping ranjang dan terlihat sibuk mengacak-acak laci pada urutan paling atas. Selembar foto sudah di dalam genggamannya ketika ia kembali duduk di hadapan Jonghyun.
“Aku hanya bisa memberimu ini.”
“Ini kan 90 Gang*.” Desis Jonghyun setelah mengamati foto itu baik-baik. Sekyung hanya mengangguk pelan.
“Kau… Anggota 90 Gang?” tanya Jonghyun tak percaya.
“Aku tidak bisa memberitahu apa-apa padamu sebelum ingatanmu kembali.” Jawab Sekyung. Ia menunduk, sedih dengan takdir yang harus menjadikan mereka berdua seperti asing pada satu sama lain.
Sebuah dering telepon mengusik Jonghyun. Ia merogoh saku celananya dan terburu-buru menjawab panggilan saat melihat nama Key muncul di layar.
“Yeoboseyo?” kata Jonghyun,”Ah, iya, aku akan segera pulang. Ya, sampai jumpa.”
Jonghyun mendesah kesal. Padahal masih banyak hal yang ingin ia ketahui dari wanita misterius ini. Bagaimana ia bisa bergabung dengan kelompok permainan mereka, mengapa Jonghyun bisa mempunyai alamat flat dan nomor ponselnya, dan yang paling penting mengapa banyak sekali foto mereka berdua yang tersimpan di ponselnya.
“Maaf, aku harus segera pulang sekarang.” Jonghyun bangkit dari kursi dan hendak mengembalikan foto yang ia genggam, namun Sekyung menggeleng.
“Kau boleh membawanya.”
“Sekyung-ssi, maukah kau membantuku untuk mendapatkan kembali ingatanku?”
“Eh, aku tidak bisa…”
“Jangan berbohong.” Jonghyun merapatkan snapback-nya yang merosot,”Firasatku mengatakan… Kau adalah orang yang penting bagiku.”
Jantung Sekyung berdegup kencang. Tidakkah pria ini mengingat sesuatu? Dua tahun yang lalu ia juga mengatakan hal yang sama. Tapi, mana mungkin ia ingat. Itu sudah berlalu lama sekali. Sekyung menetralisir debaran jantungnya dalam satu tarikan napas dan mengangguk kecil.
“Akan kucoba.”
“Terima kasih.” Jonghyun melangkah menuju pintu dan tersenyum kecil,”Sampai jumpa.”
Sekyung bergegas menutup pintu setelah punggung Jonghyun menghilang di kejauhan. Ia meletakkan sebelah tangannya pada dada bagian kiri, dan debaran itu masih terasa. Sekyung jatuh terduduk, membiarkan tubuhnya merasakan kembali perasaan yang sudah lama hilang. Ya, Jonghyun telah kembali, walaupun untuk sesaat.

∞To Be Continued∞
 
*90 Gang : Kelompok yang berisikan artis-artis Korea dengan line kelahiran 1990.
Fairyland © 2014