Pages

Jumat, 17 Oktober 2014

CRUSH - Chapter 2 : He is Mine

Jumat, 17 Oktober 2014

Title : CRUSH
Author : Alice
Cast : Kim Saeron (Actress),  Jeon Jungkook (BTS), Jin Seyeon (Actress), Lee Jongsuk (Actor), etc
Length : Series - Prolog
Genre : Romance, Family, School Life
Rating : PG15
Author’s note :
Hello! Long time no see ^^ Akhirnya ada keberanian lagi untuk upload FF disini. Untuk “Lost”, I’m really sorry~ Lagi writerblock nih, hehe, bingung harus diapakan…
Sebagai permintaan maaf, saya kembali dengan FF baru. Terinspirasi dari film dengan judul sama, semoga kalian suka dengan FF ini. Saya minta maaf sebesar-besarnya jika ada typo, hehe~ ^^
Happy reading!





CHAPTER 2
He is Mine



Warnanya putih, seputih kulit Jeon Jungkook. Lee Saeron mengusap-usap mantel milik pria itu yang berada dalam pangkuannya kini. Matanya sayu. Ia merasa telah kehilangan semangat.

“Jeon Jungkook?”

Saeron mendongakkan kepalanya. Menyadari bahwa ia sedang dalam absen pagi di kelas sekarang, Saeron segera mengangkat tangan kanannya.

“Maaf, Sonsaengnim, Jeon Jungkook ijin untuk mengunjungi makam ayahnya hari ini.” Lapor Saeron. Jung Sonsaengnim mengangguk dan menandai buku absennya, untuk kemudian melanjutkan kegiatan mengabsennya.

“Baiklah, absen pagi ini sudah selesai. Perhatikan setiap pelajaran dengan baik dan jangan membuat masalah. Paham?” kata Jung Sonsaengnim memberi instruksi.

“Paham, Sonsaengnim.” Jawab seluruh murid kelas 2A kompak, kecuali Min Yoongi. Mulutnya terkatup membaca pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya barusan.

“Oh, Sonsaengnim.” Sela Choi Jihoon. Jung Sonsaengnim yang tengah merapikan buku-bukunya pun terpaksa berhenti.

“Ada apa, Ketua Kelas Choi?”

“Kemarin, ada orang yang merusak seragam olahraga Min Yoongi. Saya curiga pelakunya adalah salah satu murid kelas ini, Sonsaengnim.” Lapor Jihoon. Telinga Yoongi menangkap pembicaraan ini. Keringat dingin bercucuran menuruni pelipisnya. Kepalanya terdongak dari layar ponsel dan segera mengangkat tangan kanannya untuk menginterupsi pembicaraan.

“Eh, Sonsaengnim, itu… Bukan apa-apa! Sungguh, bukan masalah besar.” Ucap Yoongi terbata-bata. Setiap pasang mata tertuju pada Yoongi, bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah.

“Hei, Min Yoongi, kau ini aneh sekali. Bukannya kemarin kau sendiri yang memaksa kami untuk mengaku?” celetuk Lee Yena. Beberapa siswa mengangguk.

“Yoongi-ya, merusak barang milik orang lain adalah kasus yang serius. Kau tahu itu, kan?” Jung Sonsaengnim mengarahkan pandangannya tepat pada bola mata Yoongi.

“Tapi, Sonsaengnim…” Yoongi mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat,”Saya tidak ingin mempermasalahkan hal ini. Lagipula, kedua orang tua saya juga ingin menyelesaikan kasus ini secara damai.”

“Apa kau yakin?” selidik Jung Sonsaengnim.

Yoongi hanya mengangguk lemah, tanpa berani menatap siapapun. Pesan singkat yang dikirim oleh seseorang tak dikenal itu berisi ancaman yang menakutkan. Sungguh, Yoongi amat ketakutan.

***

“Yeoboseyo?”

“Yeoboseyo. Hai, Jungkook-ah, dimana kau sekarang?”

Kedua kaki Saeron berayun-ayun senang. Setelah lima jam tersiksa tanpa kehadiran Jungkook, akhirnya kini ia bisa mendengar suaranya.

“Aku baru saja sampai di Mokpo. Mungkin sekitar tiga puluh menit lagi aku baru sampai di pemakaman.” Jawab Jungkook. Terdengar suara radio mobil mengalun dalam panggilan.

“Tidak terasa, sudah sepuluh tahun ayahmu pergi.” Kata Saeron.

Saeron memperbaiki posisi duduknya. Dengan ponsel di tangan kanan, ia menopang dagunya dengan tangan kiri. Kelas sepi karena semua siswa sedang mengikuti pelajaran seni di ruang musik. Saeron beralasan tak enak badan, sehingga gurunya mengijinkan untuk tinggal di kelas.

“Ya.” Balas Jungkook.

“Sepuluh tahun itu waktu yang lama.” Kenang Saeron. Tiba-tiba ia ingat dengan beberapa cerita masa kecilnya bersama ayah Jungkook.

“Apa kau ingat? Waktu kita pertama kali belajar naik sepeda?” Saeron mendadak tersenyum,”Ayahmu mengatakan kalau aku belajar dengan cepat dan pandai sekali mengayuhnya. Ia sempat menyuruhmu untuk berhenti saja.”

“Oh, ya, lalu ia mendudukkanku di boncengan sepedamu, kan?” Di seberang sana, Jungkook mengusap rambut yang menjuntai di dahinya sambil tersenyum mengingat peristiwa lama itu.

“Ya, benar. Menurutku sih, kau memang payah dalam bersepeda.” Goda Saeron. Tanpa ia ketahui, Jungkook menjulurkan lidahnya.

“Tidak, waktu itu aku hanya mengalah saja. Suatu hari nanti akan kutunjukkan kalau aku bisa memboncengmu.”

Deg.

Lagi-lagi terasa seperti mimpi. Untuk sepersekian detik, Saeron mengira jantungnya telah berhenti berdetak. Setelah beberapa panggilan dari Jongkuk, tubuhnya kembali normal, bekerja seperti semula. Saeron pun tersenyum. Senyum yang amat tipis hingga ia tak yakin apakah ini bisa disebut dengan senyuman.

“Baiklah, akan kutunggu.” Sahut Saeron, dengan penuh pengharapan.

Mendadak telinganya menangkap suara derap sepatu mendekat. Saeron menegakkan badannya dan menyadari bahwa pelajaran seni sudah selesai.

“Jungkook-ah, maaf, aku harus kembali ke kelas sekarang. Akan kutelepon lagi nanti.”

Tanpa menunggu perkataan Jungkook, Saeron segera mengakhiri pembicaraan dan menyimpan ponselnya dalam saku. Ia juga tak lupa untuk memeluk erat mantel Jungkook.

***

Yoongi bersiul senang. Buku teks pelajaran seni berputar di atas jari telunjuk kirinya. Yoongi memang menyenangi pelajaran seni. Baginya, seni semacam sebuah pelarian dari rutinitas sekolah dan segala isinya yang memuakkan.

Kakinya melangkah ringan menuju kelas 2A. Kepalanya miring beberapa derajat, sebagai reaksi atas kebingungannya melihat pintu kelas yang terbuka. Siapa yang ada di dalam?

Sedetik kemudian Yoongi menjetikkan jari. Lee Saeron.

“Ya, Lee Saeron, apa kau baik-baik saja?” tanya Yoongi. Saeron memalingkan mukanya dari arah yang tengah fokus ia tatap. Bibirnya membentuk sebuah garis.

“Ya.” Jawab Saeron. Yoongi menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. Ia merasa tak enak dengan respon gadis ini yang mengesankan bahwa kehadiran Yoongi sudah mengganggunya.

“Hm… Perlukah kuantar ke ruang kesehatan?” tawar Yoongi. Ia berusaha untuk melunakkan nada bicaranya.

“Tidak usah.” Saeron mengedikkan bahunya. Dari raut mukanya, terlihat dengan jelas bahwa ia sangat ingin menghentikan pembicaraan dengan Yoongi.

Yoongi menyadari itu. Ia hanya tersenyum dan berlalu, duduk pada kursinya yang terletak dua baris di belakang gadis itu. Dari sudut matanya, Yoongi bisa melihat sosok Saeron yang duduk dalam diam, memandangi sesuatu dalam pangkuannya. Karena rasa keingintahuan yang tinggi, Yoongi menjulurkan lehernya, dan segera kembali ke posisi semula saat mengetahui jawabannya.

Sebuah mantel. Berwarna putih, yang Yoongi tahu itu adalah mantel milik Jungkook.

Sesuatu menghantam dada Yoongi, dengan sangat kuat hingga rasanya menyakitkan. Ia tahu ini bukan pertama kalinya, namun tetap saja. Yoongi paham benar dengan rasa ini. Rasa yang sudah ia rasakan sejak pertama kali bertemu dengan Saeron.

Cintanya bertepuk sebelah tangan.

***

To Be Continued

CRUSH - Chapter 1 : His Name is Jeon Jungkook


Title : CRUSH
Author : Alice
Cast : Kim Saeron (Actress),  Jeon Jungkook (BTS), Jin Seyeon (Actress), Lee Jongsuk (Actor), etc
Length : Series - Prolog
Genre : Romance, Family, School Life
Rating : General
Author’s note :
Hello! Long time no see ^^ Akhirnya ada keberanian lagi untuk upload FF disini. Untuk “Lost”, I’m really sorry~ Lagi writerblock nih, hehe, bingung harus diapakan…
Sebagai permintaan maaf, saya kembali dengan FF baru. Terinspirasi dari film dengan judul sama, semoga kalian suka dengan FF ini. Saya minta maaf sebesar-besarnya jika ada typo, hehe~ ^^
Happy reading!





CHAPTER 1
His Name is Jeon Jungkook



“Ya, Jeon Jungkook!”

Lee Saeron berlari kecil, membelah lautan manusia yang memenuhi koridor sekolah, sambil berteriak memanggil nama seseorang. Para siswa yang secara tak sengaja terdorong oleh Saeron, refleks mengomel panjang lebar. Pasalnya, barang-barang yang mereka bawa langsung terjatuh dan mereka pun harus bersusah payah memungutnya.

Namun, Saeron tak peduli. Pikirannya sudah mati. Telinganya sudah tuli. Seluruh fokusnya tertuju hanya untuk Jungkook.

“Ya, Jeon Jungkook!” teriak Saeron lagi.

Sepasang mata berwarna hitam menatap Saeron dengan mimik bingung. Di tangan pria itu tergenggam sebuah kain kasa, yang diujung lain membalut pergelangan kaki kirinya.

“Jungkook-ah, kau baik-baik saja?” Secepat kilat Saeron menghampiri Jungkook dan duduk dihadapannya.

“Hm, aku tidak apa-apa.” Jungkook mengangguk-angguk kecil dan melanjutkan lagi pekerjaannya yang tertunda. Saeron menggigit bibir bawahnya melihat Jungkook – yang sedang serius – mengikat ujung kain kasa yang telah sempurna menutupi lukanya.

“Apa yang terjadi?” Saeron meremas-remas ujung roknya, gusar.

“Aku terjatuh saat pelajaran olahraga tadi.” Terlintas lagi dalam benak Jungkook bagaimana sebuah bola bundar meleset dari tendangannya, dan ia pun terjatuh dengan posisi yang salah. Bibir Jungkook mengerucut kesal.

“Kau yakin?” tanya Saeron ragu,”Tidak perlu pergi ke ruang kesehatan? Aku bisa mengantarmu.”

“Tidak, terima kasih.”

Jungkook berdiri dari duduknya dan berjalan dengan langkah terseok-seok. Saeron pun berinisiatif untuk berjalan berdampingan dengannya, memastikan agar Jungkook tidak terjatuh secara tiba-tiba. Keduanya berjalan keluar kelas 2A, diliputi keheningan yang aneh.

“Hei, Jungkook, kau baik-baik saja?” sapa seorang siswa. Di badge seragamnya tertulis MIN YOONGI. Saeron menatap lekat-lekat pria yang membawa bola sepak itu.

“Ya, aku baik-baik saja.” Balas Jungkook.

“Maafkan aku, seharusnya aku mengoper bolanya tepat ke arahmu.” Yoongi menepuk pundak Jungkook. Di wajahnya tersirat penyesalan. Jungkook merasa tidak enak melihat gelagat Yoongi. Ia pun mengangguk dan berkata bahwa itu adalah kesalahannya sendiri.

“Sampai jumpa di pertandingan berikutnya.” Goda Yoongi. Jungkook tertawa mendengarnya. Yoongi berlalu sambil melambaikan tangannya.

“Saeron-ah.” Panggil Jungkook. Ia mengetuk jam pada tangan sebelah kiri,”Waktunya makan siang.”

“Ah, itu, kau pergi duluan saja, aku harus ke kamar mandi sekarang.” Jawab Saeron tergagap. Jungkook – dengan kadar kepekaan yang memang rendah – hanya mengedikkan bahunya dan berjalan santai menuju kafeteria sekolah, meninggalkan Saeron yang mengepalkan kedua tangannya erat.

***

Mata Saeron tak bisa terlepas dari Jungkook. Pria yang sedang konsentrasi mengunyah makan siangnya itu menarik perhatian Saeron. Jungkook, dengan semua yang ada pada dirinya, adalah bentuk kesempurnaan yang tidak dapat dideskripsikan menggunakan kata apapun. Berlebihan memang, namun Saeron mengakuinya.

“Ya, Lee Saeron, kau tidak lapar?” tegur Jungkook disela-sela kunyahannya. Saeron buru-buru menyendok nasi dan daging panggangnya untuk menghindari kecurigaan Jungkook. Diam-diam, mata Saeron kembali menjelajahi wajah pria di hadapannya itu.

Alis yang melambangkan ketegasan, memayungi kedua bola mata dengan warna gelap. Sering Saeron bingung saat menatap mata Jungkook. Terkadang, mata itu kosong, seakan tidak ada kehidupan di dalamnya. Tak hanya itu, bibir bersemu merah yang dimilikinya selalu mengucapkan kebohongan. Apa yang Jungkook rasakan, berbeda 180 derajat dengan apa yang ia katakan.

Saeron menghela napas. Bagaimana caranya agar ia bisa masuk ke dalam kehidupan pria ini lebih dalam lagi?

“Lee Saeron.” Tegur Jungkook lagi, membuyarkan pemikiran deduktif Saeron. Jungkook menunjuk baki makan Saeron yang masih setengah penuh. Seakan-akan itu adalah instruksi yang amat penting, Saeron buru-buru mengangguk dan melahap sisa makan siangnya.

***

“Jungkook-ah, ayo pulang.” Ajak Saeron.

Jungkook mengemasi barang-barangnya dengan santai sebelum aktifitasnya terhenti karena melihat raut marah Yoongi. Kawan yang duduk dua bangku di belakangnya itu sedang menggenggam sesuatu.

“Hei, ada apa?” Jungkook berdiri menghampirinya dan terkejut.

Yang dipegang Yoongi saat ini adalah seragam olahraganya. Namun, yang membuatnya marah adalah karena seragam itu hancur berantakan, seperti seseorang telah sengaja merobeknya. Jungkook menepuk pundak Yoongi, yang dibalas dengan decak kesal.

“Siapa yang berani berbuat seperti ini?!” teriak Yoongi menggelegar. Beberapa siswi segera membisik-bisikkan sesuatu, sedangkan sisanya hanya menggeleng tak tahu. Merasa tidak mendapat jawaban, lagi, Yoongi berteriak.

“Siapa yang berani melakukannya?!”

“Min Yoongi, tenang.” Kata Jungkook. Yoongi menoleh dan siap untuk menghujani Jungkook dengan omelannya, sebelum salah seorang menyeletuk.

“Coba saja periksa CCTV.” Kata Lee Yena. Seketika terdengar suara riuh siswa lain membenarkan ucapan Yena.

“Ya, aku rasa itu adalah ide bagus.” Sahut Jungkook. Yoongi menoleh pada Choi Jihoon, ketua kelas 2A. Pria itu berdiri dari bangkunya dan berjalan mendekati papan tulis.

“Teman-teman, siapapun pelakunya, aku minta mengakulah sekarang.” Jihoon menatap murid kelas 2A satu-persatu,”Aku beri batas waktu sampai besok pagi. Kalian bisa mengirim pesan padaku jika kalian malu. Jika tidak, dengan terpaksa aku harus melaporkan hal ini pada wali kelas.”

Jihoon menatap Yoongi yang masih merapatkan rahangnya.

“Bagaimana?” tanya Jihoon.

“Baiklah. Akan kutunggu sampai besok pagi.” Jawab Yoongi enggan. Dengan kasar, dibuangnya seragam itu dalam tong sampah di ujung ruangan dan berjalan meninggalkan kelas dengan langkah-langkah panjang.

“Jeon Jungkook.” Panggil Saeron yang sedari tadi terdiam,”Ayo.”

“Ah, iya.” Jungkook menyampirkan ranselnya pada pundak dan berlari kecil menyusul Saeron.

***

Di penghujung musim panas, angin dingin khas musim gugur sudah bertiup. Ia menerbangkan dedaunan pada pohon, menjadikannya sebuah pusaran, dan terjatuh di atas permukaan tanah. Saeron menggosok-gosokkan telapak tangannya untuk membuat panas, walaupun ia tahu usahanya akan sia-sia. Ia memang benci dingin, dan baginya musim panas adalah yang terbaik.

“Ada apa?” tanya Jungkook, yang merupakan kalimat pertama yang ia katakan setelah mereka berjalan sekitar sepuluh menit.

“Hanya kedinginan.” Jawab Saeron. Ia membenamkan telapak tangannya pada saku jaket. Dalam hati, Saeron mengutuk angin yang menyebalkan ini.

“Ini.” Tawar Jungkook. Di depan mata Saeron melayang sebuah mantel putih yang lumayan tebal. Sedikit ragu, Saeron menatap Jungkook. Pria itu hanya mengangguk, menyuruh Saeron agar cepat-cepat memakainya.

Dan rasanya seperti mimpi. Jantung Saeron berdebar abnormal saat bau khas Jungkook menguar di sekelilingnya. Ia meremas kuat mantel itu, dan tersenyum. Untung saja Jungkook berjalan beberapa meter di depannya. Pria itu tidak akan bisa melihat wajah merah padam Saeron yang memalukan.

“Terima kasih.” Kata Saeron saat mereka tiba di depan rumahnya. Sial, mengapa lidahku kelu sekali, umpat Saeron dalam hati. Jungkook menggeleng kecil.

“Bawa saja ke sekolah besok.” Jungkook melambaikan tangannya dan melangkah menuju rumahnya yang terletak tepat di samping rumah Saeron.

“Terima kasih.” Ucap Saeron lirih, lagi, ketika punggung Jungkook sudah menghilang di balik pagar cokelat tinggi.

Seketika langkah-langkah Saeron menjadi ringan. Ia tidak bisa mengungkapkan betapa senangnya hatinya saat ini, bahkan ketika kedua orang tuanya mendesak untuk mengatakannya.

“Ada apa?” tanya Lee Jongsuk dengan nada menggoda,”Apa seseorang mengajakmu pergi berkencan nanti malam?”

“Appa!” Saeron menarik kursi pada ruang makan dan duduk bersebelahan dengan Jongsuk. Bibirnya mengerucut.

“Kalau bukan kencan, lalu apa?” kini, giliran Lee Seyeon menyelidiki.

“Bukan apa-apa, Eomma.” Saeron memutar bola matanya, kesal. Ayolah, apa hal ini harus ia ceritakan pada semua orang? Tidak bisakah ia mempunyai privasi?

“Baiklah kalau kau menolak cerita.” Jongsuk meletakkan semangkuk nasi di hadapan Saeron,”Tapi, kau tidak boleh menolak untuk makan.”

“Cepat makan sebelum sup dan nasinya dingin.” Seyeon juga turut menyiapkan sumpit dan sendok untuk Saeron.

Uap panas nasi yang mengepul mengenai wajah Saeron, perlahan-lahan mampu menghangatkan hatinya. Ia mengangguk dan mengambil suapan pertamanya.

“Selamat makan.”

***

To Be Continued

CRUSH - Prolog


Title : CRUSH
Author : Alice
Cast : Kim Saeron (Actress),  Jeon Jungkook (BTS), Jin Seyeon (Actress), Lee Jongsuk (Actor), etc
Length : Series - Prolog
Genre : Romance, Family, School Life
Rating : PG15
Author’s note :
Hello! Long time no see ^^ Akhirnya ada keberanian lagi untuk upload FF disini. Untuk “Lost”, I’m really sorry~ Lagi writerblock nih, hehe, bingung harus diapakan…
Sebagai permintaan maaf, saya kembali dengan FF baru. Terinspirasi dari film dengan judul sama, semoga kalian suka dengan FF ini. Saya minta maaf sebesar-besarnya jika ada typo, hehe~ ^^
Happy reading!




PROLOG
I’m Sorry but I Love You



“Jongsuk-ah…” katanya dalam nada bergetar.

Tangan gadis itu bergerak tak tentu. Kebimbangan mengambil alih benaknya. Ia tidak yakin apakah yang ia lakukan sekarang ini benar atau tidak. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah keinginan yang amat kuat untuk memiliki Lee Jongsuk. Dan bagaimanapun caranya, Jongsuk harus berada dalam genggamannya.

Lee Seyeon mengambil napas panjang. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya untuk bergegas meraih frame foto Jongsuk yang terletak hanya 5 cm dari tempatnya duduk sekarang. Jongsuk-ah, kemarilah, bisik Seyeon dalam hati.

Berhasil, teriak Seyeon tanpa suara. Matanya membulat lebar. Tampak kilau bahagia terpancar dari sana. Foto Jongsuk semasa SMA berada dalam genggaman Seyeon sekarang. Ia menelan ludahnya.

Sosok Jongsuk sangat sempurna.

Atau bahkan terlalu sempurna, hingga Seyeon tercekat. Kerongkongannya mendadak terasa sakit. Bulir-bulir air mata berjatuhan, menuruni pipinya yang bersemu merah. Mungkin Tuhan sedang menertawakan Seyeon. Salah satu makhluk-Nya menangis hanya karena menatap foto seorang pria. Tapi, Seyeon tidak malu untuk mengakui bahwa ia jatuh terlalu dalam karena pesona Jongsuk.

Ibu jari Seyeon mengusap-usap wajah Jongsuk dalam foto dengan penuh kelembutan, seolah-olah itu benar-benar Jongsuk. Tampan, kau sangat tampan, batinnya. Perlahan, foto itu mendekat pada bibir Seyeon. Jarak diantara keduanya terhapus, menyisakan hingga sejengkal saja. Akal sehat Seyeon hilang entah kemana. Imajinasinya berlari liar.

Jongsuk tengah berdiri dihadapannya, dengan kedua tangan berada dalam saku celana. Dan, senyumnya yang khas membuat pertahanan Seyeon hancur berkeping-keping.

Isak tangis Seyeon bertambah keras. Dalam sepersekian detik, bibir Seyeon menjamah habis tiap inci foto Jongsuk. Napasnya yang hangat bercampur dengan air mata, menghembus permukaan foto itu hingga basah. Lidah Seyeon menjulur, ingin mengecap Jongsuk, walaupun ia tahu ini palsu.

“Ah, Lee Jongsuk…” desah Seyeon pasrah.

“Lee Seyeon! Demi Tuhan, apa yang kau lakukan?”

Suara itu menghentikan aktivitas Seyeon. Ia menatap pada arah datangnya suara. Matanya memicing, mencoba untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk. Seseorang berdiri menghalangi pintu kamar Seyeon.

“Seyeon-ah, kau memakan fotoku?”

Pria itu berjalan mendekat dan mengambil foto dalam genggaman tangan Seyeon. Foto itu sudah tak berbentuk, basah karena tangis dan air liur Seyeon. Mengira ia akan dimarahi, Seyeon bergegas berdiri dan mencengkeram pinggang pria itu.

“Maafkan aku, Jongsuk-ah, aku tidak sengaja.” Seyeon memohon dalam nada parau.

Bukannya marah, Jongsuk justru tertawa ringan. Ia mengusap-usap puncak kepala Seyeon dengan penuh kasih sayang.

“Tidak apa-apa.” Balas Jongsuk.

Hati Seyeon gembira bukan main. Senyum yang baru saja Jongsuk berikan untuknya adalah pemandangan terindah yang ia lihat sejak sepuluh jam terakhir.

Napas Seyeon tiba-tiba tersengal-sengal. Suhu tubuhnya meningkat. Hawa disekitarnya terasa panas. Raut muka Jongsuk dipenuhi dengan kebingungan.

“Ada apa?” tanyanya.

Seyeon hanya menggeleng. Jari-jemarinya bergerak perlahan, menyusuri lekuk tubuh Jongsuk, hingga bermuara pada pipinya. Bibir mungil pria itu merekah di atas dagu dengan garis tegas, sukses menarik perhatian Seyeon. Begitu indah dan… nikmat. Dua kata itu cukup bagi Seyeon untuk mendeskripsikan Jongsuk.

“Jongsuk-ah…”

Kaki-kakinya berjinjit, berusaha untuk mencapai bibir Jongsuk yang terbuka. Seyeon menenggelamkan dirinya pada bibir Jongsuk. Pria itu tidak menolak. Ia justru menarik pinggang Seyeon, membuat keduanya mendesah karena sesuatu dibawah sana berhimpitan. Seyeon mengecup daging lembut itu dengan penuh gairah. Lidahnya bergerak menelusuri tiap sela mulut Jongsuk, mencoba untuk mengingat rasa yang selalu ia temui setiap saat. Kerongkongannya bergerak naik turun, mereguk saliva Jongsuk – yang entah mengapa selalu terasa nikmat – dengan kasar.

Desahan keduanya memenuhi kamar. Jongsuk menggigit-gigit kecil bibir bawah Seyeon, menjadikannya membengkak kemerahan dan Seyeon pun melenguh seksi. Telinga Jongsuk pun memerah mendengar harmoni cinta di antara mereka berdua.

Cukup lama Jongsuk dan Seyeon berciuman, hingga keduanya kehabisan napas. Dengan berat hati, Jongsuk melepaskan ciumannya. Sebuah tali – yang terbuat dari saliva mereka – terbentang melalui lidah keduanya, lalu jatuh dan menetes pada dagu masing-masing. Jongsuk menarik napas panjang. Namun, itu tak berlangsung lama, karena Seyeon masih menginginkannya. Lagi dan lagi.

“Ketika aku jatuh cinta, itu sangat buruk. Aku ingin memilikinya hanya untukku seorang, dan orang lain tak berhak menyentuhnya. Karena ia adalah milikku. Aku bisa gila jika kehilangannya. Maksudku, bukan gila seperti orang tak waras. Tetapi, bertindak diluar kontrol. Sedetik saja ia menghilang, aku bisa mengamuk tak tentu. Dan ketika sadar, aku telah kehilangan kedua kakiku.

Maafkan aku, Jongsuk. Maafkan aku, Saeron.” – Lee Seyeon

***

To Be Continued
Fairyland © 2014